Restorative justice adalah
pendekatan penyelesaian perkara yang menekankan pada pemulihan, bukan
semata-mata penghukuman. Tujuannya adalah membangun kembali hubungan yang
rusak, memulihkan korban, serta mendorong pelaku untuk bertanggung jawab atas
perbuatannya.
Dalam konsep ini, korban tidak
lagi hanya dipandang sebagai angka dalam laporan atau sekadar saksi di
persidangan. Mereka adalah manusia yang terluka, yang berhak mendapatkan ruang
untuk bersuara dan pemulihan atas apa yang dialami. Pelaku pun tidak hanya
dicap sebagai penjahat, melainkan diajak untuk memahami dampak dari
tindakannya, memikul tanggung jawab, dan berkontribusi aktif dalam proses
penyembuhan.
Komunitas juga mengambil peran
penting. Kehadiran masyarakat dalam proses restorative justice menjadi pilar
yang memastikan keadilan dirasakan bersama, bukan hanya menjadi urusan aparat
atau institusi hukum.
Landasan Hukum di Indonesia
Penerapan restorative justice
telah diakomodasi dalam sejumlah regulasi, di antaranya:
1. Undang-Undang No. 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA): menekankan penyelesaian
perkara anak melalui dialog dan pemulihan, bukan semata pemidanaan.
2. Peraturan Kapolri (Perpol)
No. 8 Tahun 2021: mengatur mekanisme penyelesaian perkara berdasarkan
restorative justice di tingkat kepolisian.
3. Peraturan Kejaksaan No. 15
Tahun 2020: memberikan ruang bagi jaksa untuk menghentikan penuntutan
berdasarkan keadilan restoratif dalam perkara tertentu.
Dengan adanya dasar hukum ini,
restorative justice diharapkan menjadi sarana menghadirkan keadilan yang lebih
humanis, mengedepankan penyelesaian damai, dan membangun kembali harmoni
sosial.


No comments:
Write comment